Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Korupsi PT Timah, Antam, Pertamax, dan Minyakita

Rabu, 12 Maret 2025 | Maret 12, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-03-12T03:31:38Z


Berita1.info-


Korupsi makin hari makin menyengsarakan rakyat. Sekarang korupsi berkembang tidak hanya merugikan keuangan negara, tapi juga merugikan perekonomian negara, khususnya konsumen yang terdampak langsung dan masyarakat yang terdampak tidak langsung. 


Kerugian perekonomian negara dimungkinkan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, tidak hanya kerugian keuangan negara yang menjadi acuan. 


Dahulu korupsi hanya sebatas mark up proyek APBN/APBD, mark up proyek BUMN/BUMD, proyek fiktif APBN/APBD, proyek fiktif BUMN/BUMD, kuitansi/SPJ fiktif, mark up kuitansi/SPJ, penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara, suap, pungli, dan gratifikasi. 


Sekarang korupsi makin mengganas. Korupsi dilakukan tidak hanya memanipulasi proyek pemerintah, pemerintah daerah, atau BUMN/BUMD sebagai kerugian keuangan negara. Manipulasi telah berdampak lebih luas pada kerugian perekonomian negara. 


Perekonomian negara juga sangat luas, seperti kerugian lingkungan hidup, kerugian nilai tambah ekonomi yang hilang akibat korupsi, kerugian sektor swasta yang terdampak, bahkan kerugian konsumen.


Kerugian perekonomian negara 

Kasus cap palsu Antam telah merugikan perekonomian negara sebesar Rp 3,3 triliun. Tersangka melakukan pembubuhan cap palsu untuk emas batangan yang diproduksi oleh swasta hingga 109 ton emas. 



Bahan baku peleburan berasal dari pelanggan berupa emas rongsokan yang dimurnikan, dicetak menjadi batangan, dan dicap dengan logo LM dan London Bullion Market Association (LBMA) sebagai tanda sertifikasi Komite Akreditasi Nasional (KAN). (Kompas.com) 



Kasus korupsi PT Timah juga merugikan perekonomian negara hingga Rp 271 triliun, yang meliputi kerugian ekonomi wilayah tambang, kerugian atas kerusakan lingkungan hidup, dan biaya pemulihan lingkungan hidup. 



Angka kerugian perekonomian negara Rp 271 triliun pada kasus korupsi PT Timah dan Rp 3,3 triliun pada kasus PT Antam telah menjadi fakta hukum di pengadilan, karena kasusnya telah memasuki pengadilan.



Sedangkan kerugian keuangan negara pada kasus pertamax Pertamina Patra Niaga ditaksir sebesar Rp 193,7 triliun dalam satu tahun, dan kasus Minyakita masih dalam penyelidikan. 



Kasus Minyakita jika mencapai titik terang pada penyidikan nantinya, bisa jadi ada kerugian perekonomian negara, khususnya konsumen yang cukup besar.



Angka kerugian pada kasus pertamax sebesar Rp 193,7 triliun adalah angka kerugian negara hasil hitungan Kejaksaan Agung. 



Bisa jadi jika menghitung angka kerugian perekonomian negara mungkin lebih besar dari Rp 193,7 triliun, seperti dampak kerugian konsumen yang membeli harga pertamax, tapi menerima kualitas pertalite, serta kerugian ikutan atau berganda (multiplier) pada konsumen seperti kerusakan mesin dan dampak kerugian pada usaha konsumen. 



Sebagian analis dan pengamat memprediksi kerugian perekonomian negara pada kasus pertamax oplosan mencapai ribuan triliun rupiah (Kuadriliun). 



Nantinya Kejaksaan Agung dapat meminta penilaian dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sesuai kewenangan yang diberikan Undang-Undang, BPK berwenang memberikan penilaian, menetapkan, dan memutuskan kerugian keuangan negara/daerah. 



Sedangkan untuk menghitung kerugian perekonomian negara, jaksa dapat meminta pendapat ahli, profesional, atau appraisal. 



Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 31 tahun 1999 Jo UU Nomor 20 tahun 2001) mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan setiap orang yang dilakukan secara melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 



Kata “dapat” pada unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara berarti bahwa kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak perlu lagi dibuktikan (delik formil). 



Nilai kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya disajikan oleh penegak hukum sebagai pelengkap.



Kata “atau” berarti bahwa kerugian tidak harus terjadi pada dua unsur, yaitu keuangan negara dan perekonomian negara. Cukup melihat dari satu unsur saja, misal perekonomian negara saja atau keuangan negara saja. 



Angka hitungan kerugian perekonomian negara selalu menjadi ajang perdebatan. Namun, angka yang menjadi fakta hukum di depan pengadilan tentunya menjadi pemutus perdebatan. 



Pendebat angka hitungan yang dibuat oleh penegak hukum seringkali melupakan bahwa kerugian tidak hanya diukur dari aspek keuangan negara, tapi juga perekonomian negara.



Pendebat yang menyangkal angka kerugian yang dirilis oleh penegak hukum, berdalil pada nilai aset PT Timah, PT Antam, dan PT Pertamina Patra Niaga tidak sebesar hitungan angka kerugian negara dan perekonomian negara. 



Pendepat melupakan bahwa aset adalah hasil dari keuntungan bersih dan keuntungan bersih adalah sebagian kecil dari omzet. 



Omzet inilah yang menjadi dasar hitungan kerugian perekonomian negara. Apalagi jika menghitung dampak ikutan pada konsumen, seperti kerusakan mesin dan tentunya dampak berganda kerugian ekonomi akan lebih besar lagi.


Hukuman maksimal 

Korupsi pada penjualan komoditas yang monopolistik sangat menyengsarakan rakyat. Perusahaan tersebut telah diberi hak monopoli oleh negara melalui perundang-undangan, tapi menyalahgunakannya dengan melakukan kecurangan dan penipuan. 



Mereka tidak hanya merugikan keuangan negara, tapi juga perekonomian negara. Saat rakyat sedang menghadapi kesulitan ekonomi, inflasi, dan kelangkaan bahan pokok; pelaku malah memperberat kesulitan yang dihadapi rakyat. 



Hukuman mati menjadi solusi agar memunculkan efek jera bagi semua pihak. Efek jera bagi semua pihak yang belum beranjak melakukan korupsi agar berpikir seribu kali untuk melakukan korupsi.



Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi memungkinkan pemberian hukuman mati bagi pelaku korupsi yang berdampak luas pada perekonomian negara. 



Sepantasnya para pelaku dihukum maksimal, sekaligus menjadi tantangan bagi pemerintah untuk memperbaiki pengawasan dan pengendalian serta menghindari conflict of interest di antara organ organisasi dan personal (aktor) yang terlibat dalam kebijakan publik.



Sumber : KOMPAS
×
Berita Terbaru Update